Sabtu, 31 Oktober 2009

sasirangan

sasirangan


Kerajinan kain sasirangan asal mulanya adalah kain yang idpakai pada saat upacara adat dari daerah Banjar, terutama bagi mereka yang masih keturunan bangsawan, selain itu pada masa lampau kain sasiragan ini dipakai untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit. Kain sasirangan ini pada masa yang lampau hanya berbentuk seperti :

* Laung (ikat kepala)
* Kakamban (serudung)
* Udat (kemben)
* Tapih (bumin)

Motif kerajinan sasirangan ini hampir serupa dengan kain jumputan atau teritik di daerah Jawa akan tetapi kain sasirangan ini mempunyai ciri khas tersendiri dengan motif-motif tradisional antara lain :

* Bayam Raja
* Kulat Kurikit (kulit kurikit)
* Ombak Sinapur Karang
* Kangkung Kaumbakan
* Tampuk Manggis

Motif-motif tersebut mempunyai arti dan makna tersendiri, oleh sebab itu kain sasirangan ini oleh masyarakat Banjar disebut dengan kain "Pamintan" atau "permintaan" yang artinya kain ini diolah atau dibuat berdasarkan permintaan / permohonan dari orang yang memerlukannya, biasanya disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan.
Kain Sasirangan ini merupakan kerajinan tangan daerah Banjar yang dahulunya hampir punah, namun sekarang digali terus dan dikembangkan dalam upaya dilestarikan budaya khas Banjar. Sekarang ini kain sasirangan semakin berkembang dengan dibuat bermacam-macam motif maupun yang sudah dimodifikasi untuk dijadikan bahan-bahan perlengkapan pakaian, alat-alat rumah tangga, macam-macam busana dari berbagai jenis kain.

Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.
Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. Sa artinya satu dan sirang artinya jelujur. Ini berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujur.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama.
Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar